Abses Retrofaring

Dr. Andrina Yunita Murni Rambe
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan
Universitas Sumatera Utara


PENDAHULUAN
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada umur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.  Akhir – akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang dijumpai . Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas atas. Pemeriksaan mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kuman sangat membantu dalam pemilihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian, angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan operatif . Insisi abses retrofaring dapat dilakukan secara intra oral atau pendekatan eksternal bergantung dari luasnya abses.  Pada umumnya abses retrofaring mempunyai prognosis yang baik apabila didiagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat sehingga komplikasi tidak terjadi.

ANATOMI
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda. Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna. Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan superfisial : Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media : Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula. Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda : Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.  Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks.

Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra

RUANG RETROFARING
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda ) yang mengelilingi   faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior. Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu : 
- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

ETIOLOGI
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :
1. Akut.
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing.
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah :
1. Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria

KEKERAPAN
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus. Doodds, dkk ( 1988 ) seperti yang dikutip oleh Purnama H, melaporkan selama 15 tahun penelitiannya dijumpai sebanyak 93 kasus abses leher dalam dan dari jumlah tersebut sebanyak 9 anak ( 9,6% ) menderita abses retrofaring. Kusuma H ( 1995 ) dalam suatu penelitiannya selama 3 tahun ( Januari 1992 – Desember 1994 ) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapati sebanyak 57 kasus infeksi leher bagian dalam dimana sebanyak 3 orang ( 5,26 % ) menderita abses retrofaring.

GEJALA DAN TANDA KLINIS
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis yang sering dijumpai pada anak : 
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. suara sengau
4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.
5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).

Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa
dijumpai adanya :
7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan
8. air liur menetes ( drooling )
9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea

Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah : 
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. rasa sakit di leher ( neck pain )
4. keterbatasan gerak leher
5. dispnea
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.

DIAGNOSIS BANDING
1. Adenoiditis
2. Abses peritonsil
3. Abses parafaring
4. Epiglottitis
5. Croup
6. Aneurisma arteri
7. Tonjolan korpus vertebra

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Laboratorium :
a. darah rutin : lekositosis
b. kultur spesimen ( hasil aspirasi )
4. Radiologis : 
a. Foto jaringan lunak leher lateral
Dijumpai penebalan jaringan lunak retrofaring ( prevertebra ) : setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan dewasa setinggi C6 : > 14 mm ( anak-anak , N : 5 – 14 mm ) dan > 22 mm ( dewasa, N : 9 – 22 mm ). Pembuatan foto dilakukan dengan posisi kepala hiperekstensi dan selama inspirasi. Kadang-kadang dijumpai udara dalam jaringan lunak prevertebra dan erosi korpus vertebra yang terlibat.
b. CT Scan
c. MRI

PENATALAKSANAAN
I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
- posisi pasien supine dengan leher ekstensi
- pemberian O2
- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
- trakeostomi / krikotirotomi
II. Medikamentosa
1. Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B – laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua ( seperti cefuroxime ) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
2. Simtomatis
3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan elektrolit.
4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.

III. Operatif :
a. Aspirasi pus ( needle aspiration )
b. Insisi dan drainase :
Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus.  Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m. sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ). Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

KOMPLIKASI
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat :
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum
b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20 – 40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.

Kelenjar dan Hormon Tiroid

Willy Silyen, dr
Resident of ENT & Head Neck Surgery Department
Brawijaya University-Saiful Anwar General Hospital
Malang 2010


Embriologi
            Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terbentuk paling awal diantara seluruh kelenjar tubuh manusia yaitu sekitar umur kehamilan 24 hari dan pertama kali dapat diidentifikasikan pada usia kehamilan 4 minggu.8,9
            Kelenjar tiroid berasal dari foramen sekum yaitu lekukan faring antara branchial pouch  pertama dan kedua. Pada bagian tersebut terjadi penebalan di daerah garis median kemudian terbentuk divertikulum tiroid  yang kemudian membesar, tumbuh dan mengalami migrasi ke bawah. Divertikulum tiroid akhirnya melepaskan diri dari faring, sebelum lepas, kelenjar tiroid berbentuk sebagai duktus tiroglosus yang berawal dari foramen cecum di basis lidah (gambar 2.1). Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar disepanjang kartilago tiroid hingga basis lidah.10,11,12,13
            Proses organifikasi pada janin dimulai pada usia 10 minggu kehamilan, dan pada akhir trimester pertama kadar hormon T4 dan TSH sudah dapat dideteksi pada darah janin.1
Gambar 2.1 Embriologi kelenjar tiroid (dikutip dari Stewart WB)10

Anatomi  
              Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago krikoid, disamping kiri dan kanan trakea. Pada orang dewasa beratnya lebih kurang 14 - 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri dan lobus kanan, dipisahkan oleh ismus  di garis tengah yang biasanya menutupi cincin trakea 2 dan 3, sehingga bentuknya menyerupai huruf  H atau dasi kupu-kupu.10,12,14
            Kelenjar tiroid menempati ruangan yang dibagian medialnya dibatasi oleh laring dan trakea, sedangkan bagian lateralnya oleh m. Sternokleidomastoid dan selubung karotis, melekat pada permukaan anterior dan lateral sebagian laring dan trakea bagian atas. Lobus lateral panjangnya kurang lebih 5 cm melebar ke atas mencapai pertengahan kartilago tiroidea dan pelebaran kebawah mencapai cincin trakea ke 6. Kapsul fibrous menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid (gambar 2.2).9,10,12
            Kelenjar tiroid divaskularisasi oleh sepasang a. tiroid superior yang berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna,  sepasang a. tiroid inferior dari a. subklavia, dan kadang-kadang dapat ditemukan a. tiroid ima yang berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang dari arkus aorta.9,10,12
            Inervasi kelenjar tiroid berasal dari ganglion servikal superior dan N. laringeus superior yang merupakan cabang dari N. vagus. Kedua saraf ini akan bergabung menjadi satu didalam kelenjar tiroid dan berjalan disepanjang arteri tiroid superior. N. laringeus rekurens berjalan disekitar kelenjar tiroid, pada tindakan tiroidektomi sering terjadi cedera dari nervus ini terutama N. laringeus kanan karena letaknya yang lebih lateral yaitu setinggi arteri tiroid inferior.9
 










Gambar 2.2 Anatomi kelenjar tiroid (dikutip dari Putz R)15
Histologi kelenjar tiroid
            Struktur histologi kelenjar tiroid terdiri dari lobus-lobus, masing-masing lobus mempunyai ketebalan lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus tersusun oleh 30 – 40 sel folikel (thyrocyte) dan parafolikuler. Di dalam folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa. Folikel adalah unit fungsional kelenjar tiroid. Dinding folikel terdiri dari  sebuah lapisan sel-sel folikular epitel tunggal, yang membungkus suatu rongga sentral. Epitel folikuler akan berbentuk kolumnar jika distimulasi TSH dan berbentuk kuboid jika kelenjar tidak aktif.2,3,9
            Sel folikel mensintesis tiroglobulin (Tg) yang disekresikan ke dalam lumen folikel, Tg merupakan protein yang berukuran 660 kDa, yang disintesis di dalam ribosom, mengalami glikosilasi di dalam retikulum endoplasmik dan ditranslokasi pada apparatus golgi. Tg mengandung sekitar 70 asam amino tirosin yang merupakan komponen utama dalam dalam pembentukan tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) ketika bersenyawa dengan yodium.2,3,5,16










Gambar 2.3 Struktur histologi kelenjar tiroid (dikutip dari Guyton AC)3
Hormon Tiroid
Sintesis hormon tiroid
            Untuk menghasilkan hormon tiroid,  kelenjar tiroid memerlukan yodium, yaitu suatu elemen esensial yang terdapat di dalam makanan dan air. Tanpa adanya yodium proses sintesis hormon tiroid tidak akan terjadi. Kelenjar tiroid menangkap yodium dan mengolahnya menjadi hormon tiroid. Setelah hormon tiroid digunakan, beberapa yodium di dalam hormon kembali kedalam kelenjar tiroid dan didaur-ulang untuk kembali menghasilkan hormon tiroid. 2,5,6
            TSH/Thyrotropin merupakan hormon yang memegang peranan dalam menstimulasi terjadinya sintesis hormon di dalam kelenjar tiroid. TSH   merupakan   satu   dari   empat   hormon  yang  dihasilkan  oleh kelenjar  pituari anterior, dengan berat molekul sekitar 26,000 – 28,000 dalton. Produksi TSH terjadi oleh adanya stimulasi dari Thyrotropin Releasing Hormone (TRH), yang dihasilkan oleh hipotalamus yang kemudian akan menstimulasi kelenjar pituari sehingga menghasilkan TSH. Pada keadaan normal kadar TSH yang terdapat di dalam tubuh berkisar antara 0.5-5 mU/ml (mikroUnit/mililiter).2,6,9
            TSH berperan penting dalam sintesis hingga mengatur kadar hormon tiroid, menstimulasi terjadinya uptake yodida melalui suatu transporter hingga terjadinya pelepasan T3 dan T4 kedalam sirkulasi. Ketika jumlah T3 dan T4 dalam sirkulasi sedikit maka hipotalamus akan menghasilkan jumlah TRH yang besar dan meningkatkan pembentukan TSH. Sebaliknya ketika jumlah T3 dan T4 di sirkulasi meningkat maka melalui mekanisme negative feedback yang dilakukan oleh T3 dan T4 pada hipotalamus, menyebabkan produksi TSH menurun untuk menjaga keseimbangan produksi hormon tiroid pada kelenjar tiroid.2,6,9


 








Gambar 2.4    Mekanisme umpan balik negatif hormon tiroid (dikutip dari   Gorges R)16

Mekanisme sintesis hormon tiroid pada dasarnya melalui 7 tahapan utama (gambar 2.10), yaitu :
a.    Pengambilan yodida (Trapping)
Pada proses ini,  Yodida ( I- ) bersama natrium (Na+) yang beredar di dalam darah akan ditangkap oleh transporter yang terletak pada membran  basolateral sel folikel, dan dibawa masuk kedalam sitoplasma sel folikel tiroid (I- uptake).  Transporter merupakan suatu  protein plasma yang dikenal dengan istilah sodium iodide symporter (NIS).  NIS merupakan glikoprotein dengan berat 85 kDa yang terletak pada membran basal dan memiliki 13 segmen transmembran (gambar 2.5).2,3,5,14

Masuknya I-  dan Na+ akan mengaktifkan pompa Na+/K+ ATPase yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan gradien didalam sel, dimana 3Na+ akan dilepaskan ekstraseluler dan 2K+ akan dimasukkan ke intraseluler. Tahap trapping  terjadi karena adanya rangsangan dari TSH..2,9,18,19
Gambar 2.5 Uptake yodida kedalam sel folikel oleh NIS (dikutip dari Carassco)2

b.    Oksidasi
Setelah yodida masuk kedalam sel folikel, maka untuk dapat digunakan sebagai bahan sintesis hormon,  yodida tersebut harus dikonversikan menjadi bentuk aktif yaitu yodium (I0) sehingga dapat berikatan dengan tirosin, dimana proses ini terjadi di dalam koloid. Proses perpindahan yodida dari sitoplasma sel folikel kedalam koloid (I- efflux) diperantarai oleh beberapa protein yaitu apical iodide transporter (AIT), enzim pendrin, dan saluran kalsium yang terletak pada membran apeks sel folikel.2,3,6
Yodida yang berada di dalam koloid kemudian dioksidasi menjadi bentuk yodium oleh enzim thyroid peroksidase (TPO) dan H2O2. Yodium yang telah terbentuk kemudian akan berikatan dengan tirosin yang berada di dalam Tg, proses ini dikenal dengan istilah iodonisasi atau organification (gambar 2.5).  Ikatan antara yodium dan tirosin pertama kali akan membentuk monoiodotirosin (MIT) dan kemudian membentuk diiodotirosin (DIT) yang akan tersimpan di dalam Tg.2,3,5,19,20
Gambar 2.6 Proses ikatan yodium dengan tirosin/organification (dikutip dari Mallery C)20
 

             Rantai Monoiodotirosin (MIT)                                     Rantai Diodotirosin (DIT)
Gambar 2.7 Struktur rantai asam amino MIT dan DIT (dikutip dari Guyton AC)3

c.    Penggandengan (Coupling)
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling), dimana proses ini dikatalisir oleh enzim TPO. Dua rantai molekul diiodotirosin akan saling bergandengan sehingga terbentuk rantai molekul tiroksin (T4), dan selanjutnya satu rantai molekul monoiodotirosin dan satu molekul diiodotirosin akan membentuk rantai molekul triiodotirosin (T3). Sekitar tiga perempat atau 70%  jumlah molekul didalam tiroglobulin tidak mengalami coupling, dan hanya berbentuk rantai MIT dan DIT.2,3,6,19,21

 


Rantai Triiodotirosin (T3)
 


Rantai Tiroksin (T4)
Gambar 2.8 Struktur rantai asam amino T4 dan T3 (dikutip dari Guyton AC)3
d.         Penyimpanan (Storage)
Hormon tiroid merupakan hormon yang sangat unik karena disimpan secara ekstrasel. Hormon yang telah terbentuk melalui proses coupling tersimpan ekstraseluler di dalam Tg. Masing – masing Tg mengandung lebih dari 30 molekul T4 dan hanya beberapa molekul T3, dengan jumlah tersebut, pada oraang normal dapat memenuhi kebutuhan 2 – 3 bulan.2,3,6,18
e.         Proteolisis
Adanya pengaruh dari TSH menyebabkan  molekul Tiroglobulin  yang mengandung tiroksin (T4), triidotirosin (T3), DIT, dan MIT, akan mengalami endositosis kedalam sitoplasma sel folikel (micropinocytosis). TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan menstimulasi pembentukan vesikel (colloid droplet) pada membran apeks sel folikel. Ketika vesikel telah berada di sitoplasma, terjadi fusi antara vesikel tersebut dengan lisosom, yang akhirnya terjadi proteolisis atau degradasi dari fusi tersebut oleh enzim-enzim endopeptidase seperti katepsin B, D, H, dan L. Setelah proses degradasi oleh enzim endositosis berlangsung, terjadi proses proteolisis tiroglobulin yang lebih lanjut oleh enzim-enzim eksopeptidase (dipeptidyl-peptidases I and II, lysosomal dipeptidase I, and N-acetyl-l-phenolalanyl-L-tyrosine hydrolase)  sehingga akibatnya T4, T3, MIT dan DIT bebas di dalam sitoplasma sel folikel.2,3,6,19,21
Gambar 2.9 Ilustrasi mekanisme micropinocytosis (dikutip dari Bhagavan NV)21
f.         Deiodinasi
            Molekul MIT dan DIT yang berada pada sitoplasma sel folikel tidak dikeluarkan kedalam sirkulasi, molekul-molekul tersebut mengalami deiodinasi oleh enzim yodotirosin deiodinase. Dipecah menjadi yodida yang kemudian disimpan didalam intrathyroidal pool, yang nantinya akan digunakan kembali sebagai bahan utama sintesis hormon tiroid.2,6,19,20
g.         Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Setelah proses proteolisis selesai dan keempat molekul (T4, T3, MIT, dan DIT) bebas, hanya T4 dan T3 saja yang dikeluarkan dari membran basal sel folikel dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Proses keluarnya T4 dan T3 dari membran basal sel folikel belum diketahui dengan jelas, hal ini kemungkinan diperantarai suatu protein transporter yang spesifik, namun hingga saat ini belum ada satu penelitian yang dapat mengidentifikasikan protein transporter tersebut.2,5,6,19
Gambar 2.10  Biosintesis hormon tiroid  (dikutip dari Guyton AC)3

Pengangkutan Hormon Tiroid
Setelah T4 dan T3 keluar melewati membran basal dan masuk ke dalam sirkulasi darah, hormon-hormon tiroid ini kemudian akan berikatan dengan protein-protein pengikat yang telah berada di sirkulasi darah yaitu Thyroxin Binding Globulin (TBG),  Thyroid Binding PreAlbumin (TBPA) atau yang lebih dikenal dengan Transhyretin (TTR) dan albumin. Lebih dari 90% hormon tiroid ini berikatan dengan protein pembawa, dan sekitar 70% hormon tiroid ini berikatan dengan TBG dan sisanya terikat pada TBPA dan albumin, hanya sekitar 0,35% dari T4 (free-T4/FT4) total dan 0,25% dari T3 (free-T3/FT3) total yang berada dalam keadaan bebas. Hormon tiroid yang bebas ini dapat berdifusi keluar dari sirkulasi darah masuk ke dalam jaringan sehingga memiliki efek biologis sebagai hormon di jaringan.  Dalam keadaan normal, kadar FT4 dan FT3 total menggambarkan keadaan hormon bebas. Dalam keadaan normal kadar hormon T4 berkisar antara 1-3 ng/dl dan kadar hormon T3 berkisar antara 0.25-0.5 ng/dl (nanogram/desiliter)2,5,6,19
Ikatan antara protein pengikat dengan T4 lebih kuat dibandingkan dengan protein pengikat dan T3. Hal inilah yang menjadi dasar lamanya waktu paruh kedua hormon tiroid tersebut. Waktu paruh untuk T4 sekitar 6 hari dan waktu paruh untuk T3 sekitar 24 jam.3,5,6,19
Metabolisme Hormon Tiroid
            Produk utama dari kelenjar tiroid adalah T4, namun molekul ini merupakan bentuk prehormon yang harus dikonversi menjadi bentuk aktif T3 dan bentuk yang tidak aktif rT3 melalui proses deiodinasi yang dikatalisir oleh asam amino selenosistein yang mengandung selenium sehingga dapat berfungsi dalam aktivitas biologi.2,4,6
            Terdapat tiga macam proses deiodinasi yang masing-masing proses tersebut memilki perbedaan tempat dan fungsi.2,4,6
a.                  Deiodinasi I (DI)
Proses deiodinasi ini terjadi pada hati, ginjal, sistem saraf pusat, kelenjar pituari anterior, dan kelenjar tiroid, T3 yang dihasilkan dari proses konversi T4 akan beredar di plasma. Selain mengkonversi T4 menjadi T3, proses DI ini juga akan berfungsi untuk mendegradasi rT3 menjadi rT2.
b.                  Deiodinasi II (DII)
Proses ini terjadi pada sistem saraf pusat, kelenjar pituari, plasenta, tiroid, jantung, lemak coklat, dan otot skeletal. T3 yang dihasilkan dari proses konversi akan digunakan di otak, menyediakan kebutuhan neuron terhadap T3. Pada otak, hormon ini terletak di astroglia.
c.                  Deiodinasi III (DIII)
Proses deidonisasi ini terjadi pada sistem saraf pusat, plasenta dan kulit. T4 akan dikonversi menjadi rT3 yang merupakan bentuk tidak aktif dari T3. rT3 yang terbentuk melalui proses ini bertujuan/bertanggungjawab untuk menjaga rasio perbandingan kadar T3 dan T4 terutama pada sistem saraf pusat dan mengurangi masuknya hormon yang berlebihan dari ibu ke janin.
Fungsi Fisiologis Hormon tiroid
            Fungsi fisiologi dasar dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi gen (gambar 2.11). Proses ini diawali dengan masuknya T4 kedalam sel, selanjutnya di sitoplasma oleh enzim 5’-deiodinasi T4 dikonversi menjadi T3. T3 tersebut akan bergerak menuju nukleus dan melekat pada reseptor hormon tiroid. Proses ikatan T3 dan reseptor ini nantinya menimbulkan suatu kompleks ikatan sehingga mengaktivasi terjadinya transkripsi gen yang akan menghasilkan protein khas sel tersebut.3,4,6,9

 











Gambar 2.11 Peranan Hormon T3 dalam mengaktifkan transkripsi gen dan fungsi fisiologis        hormon tiroid secara umum ( dikutip dari Guyton AC)3

a.         Aktivitas metabolisme seluler
1.         Peningkatan jumlah dan aktivitas mitokondria
Hormon tiroid berperan dalam proliferasi dan diferensiasi mitokondria, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah dan ukuran/luas permukaan membran mitokondria. Selain itu juga menyebabkan  terjadi peningkatan aktivitas mitokondria sehingga menghasilkan peningkatan pembentukan adenosine triphosphate (ATP) yang digunakan sebagai energy seluler.3,4,9
Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Schneider dan Hood pada tahun 2000, dimana pemberian hormon T3 secara invitro pada otot jantung tikus menginduksi terjadinya biogenesis mitokondria sehingga menyebabkan peningkatan jumlah mitokondria pada sel-sel otot jantung tersebut.23
2.         Peningkatan transport aktif ion melewati membran sel
Hormon tiroid dapat menyebabkan terjadinya peningkatan transport aktif ion masuk ke dalam sel. Proses ini diperantarai oleh adanya reseptor hormon tiroid yang terdapat pada nukleus sel. Beberapa teori lain juga menjelaskan proses terjadinya peningkatan transport ini seperti efek hormon tiroid yang menyebabkan terjadinya kebocoran pada membran sel sehingga memudahkan masuknya sodium melalui pompa Na+/K+ ATPase. Hingga saat ini belum ada teori yang menjelaskan dengan pasti mekanisme yang terjadi sehingga masih dianggap belum jelas 3,4
Penelitian yang dilakukan oleh Ornellas DS, dkk pada tahun 2003 memberikan hasil terjadinya peningkatan transport ion. Penelitian ini dilakukan   dengan membandingkan kadar chlorida  pada sel tubulus proksimal ginjal kelompok tikus hipotiroid dan kelompok tikus hipertiroid, proses transport terjadi diduga karena adanya regulasi dari cairan ekstraseluler.24
b.         Pertumbuhan
Fungsi utama hormon tiroid adalah menstimulasi perkembangan otak selama kehidupan janin, dan ketika tahun pertama kehidupan. Kekurangan hormon tiroid pada saat ini akan menyebabkan terjadinya retardasi mental dan perkembangan otak yang lebih kecil dibandingkan dengan bayi yang normal.3,4,5
Fungsi penting lain hormon tiroid adalah membantu proses maturasi dan pertumbuhan skleton. Pada anak-anak dengan hipotiroid, pertumbuhan tulang menjadi lambat, selain itu juga penutupan epifisial menjadi tertunda dan sebaliknya pada anak-anak dengan hipertiroid pertumbuhan terjadi secara berlebihan yang tidak sesuai dengan usia saat itu.3
c.         Mekanisme tubuh secara umum
1.         Stimulasi metabolisme karbohidrat
Hormon tiroid menstimulasi metabolisme karbohidrat dalam semua aspek seperti meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel, peningkatan glikolisis dan glukoneogenesis untuk membentuk glukosa bebas, meningkatkan absorpsi pada traktus gastrointestinal, dan juga meningkatkan sekresi insulin.3,4,5
2.         Stimulasi metabolisme lemak
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan oksidasi asam lemak bebas oleh sel,   penurunan  penimbunan   lemak   pada   tubuh.   Pada  plasma   hormon   ini menurunkan konsentrasi kolesterol, posfolipid dan trigliserida. Salah satu mekanisme yang terjadi dari penurunan kolesterol plasma adalah terjadinya peningkatan sekresi oleh empedu dan pengeluaran melalui feses. Pada hati, hormon tiroid merangsang peningkatan jumlah reseptor low density lipoproteins (LDL) sehingga lebih banyak LDL plasma yang dibuang melalui sel hati.3,4,5
3.         Sistem kardiovaskular
Hormon tiroid meningkatkan aliran darah dan cardiac output melalui peningkatan metabolisme di jaringan, jumlah pemakaian oksigen meningkat dan produk akhir yang dilepaskan juga semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi  pada beberapa jaringan yang akhirnya meningkatkan aliran darah. 3                                                                                   
Hormon tiroid menstimulasi terjadinya transkripsi myosin He-β, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot miokard, mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik, sehingga hormon tiroid memiliki efek yonotropik positif, dimana secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardia.3.4.5
4.         Sistem saraf pusat
     Secara umum, hormon tiroid dapat meningkatkan perkembangan otak seperti  peningkatan kemampuan kecepatan berpikir. Individu dengan hipertiroid memiliki kecenderungan terjadi gangguan psikoneurotik, kecemasan, rasa kantuk, tremor dan reflex yang meningkat akibat rangsangan hormon yang berlebih pada synap neuron,  dan paranoid3,8
5.         Otot
     Fungsi hormon tiroid pada otot terutama adalah menjaga keseimbangan dan kontraktilitas otot. Peningkatan hormon tiroid dalam jumlah yang kecil/sedikit dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot, namun peningkatan hormon tiroid yang terlalu banyak/berlebihan  menyebabkan terjadinya kelemahan otot akibat peningkatan dari katabolisme protein. Sebaliknya kekurangan hormon tiroid menyebabkan otot terlalu lambat untuk relaksasi setelah kontraksi.3,4
                 Pada synap neuron di daerah medulla spinalis, hormon tiroid berfungsi untuk menjaga/mengontrol keseimbangan kontraksi otot. Pada individu dengan hipertiroid akan terjadi peningkatan reaktifitas synap-synap neuron ini sehingga menimbulkan getaran yang berlebihan atau yang disebut dengan tremor.3
6.         Fungsi seksual
     Penurunan hormon tiroid pada pria menyebabkan kehilangan libido sedangkan pada wanita penurunan hormon ini menyebabkan menoragi dan polimenorea. Efek ini tidak secara langsung disebabkan karena hormon tiroid tapi dihasilkan oleh efek eksitatori dan inhibisi pada kelenjar pituari anterior.3,4,5

Referensi :
1.        Hendrix RA. Disease of the Thyroid and Parathyroid Glands. In : Snow JR, Ballenger. Ed. JJ Ballenger’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 16th edition. : People’s Medical Publishing House. 2003. p.1455-1459
2.        Carassco N. The Normal Thyroid. In : Braverman LE, Utiger RD. Ed. Werner and Ingbar’s – the Thyroid: A Fundamental and Clinical Text. 9th edition. Lippincott Williams & Walkins. 2005. p.3-305.
3.        Guyton AC, Hall JE. TextBook of Medical Physiology. 11th edition. Elseviers Saunders. Philadelphia. 2006. p. 931-939.
4.        Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22nd edition. MacGraw-Hill Companies. USA. 2003. P. 320-330
5.        Djokomoeljanto R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Editor: Sudoyo AW. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. hal.1933-1937.
6.        Larsen PR, Davies TF, Hay ID. The Thyroid Gland. In : Wilson JD, Foster DW, Kronenberg HM, Larsen PR. Ed. Williams TextBook of Endocrinology. 9th edition.  WB Saunders Company. Philadelphia. 1998. p. 389-402.
7.        Roezan A, Munir M, Soepardi E, Soewito. Kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher. Perhati. 1997. hal. 99.
8.        Kay JD, Goldsmith AJ. Embryology of the Thyroid and Parathyroid. Department of Otolaryngology, Division of Pediatric Otolaryngology, State University of New York Downstate Medical Center. January 14 2010.
9.        Macdougall IR. Managament of Thyroid Cancer and Related Nodular Disease. Springer. London. 2006. p.21-50.
10.    Stewart WB, Rizzolo LJ. Embryology and Surgical anatomy of the Thyroid and Parathyroid Glands. In: Oertli D, Udelsman R. Ed. Surgery of the Thyroid and Parathyroid Glands. Springer. NewYork. 2007. p.13-19
11.    Rohen JW, Drecoll-Elke L. dalam: Embriologi Fungsional - Perkembangan Sistem Fungsi Organ Manusia. edisi 2. EGC. Jakarta. 2009. hal.127-128.
12.    Steward DL, Hairston JA. Developmental and Surgical Anatomy of the Thyroid Compartment. In: Terris DJ, Gourin CG. Ed. Thyroid and Parathyroid disease – Medical and Surgical Management. Thieme. NewYork. 2009. p.11-17
13.    Blitzer A, Schwartz J, Song P, Young M. Oxford American Handbook of Otolaryngology. Oxford University Press. NewYork. 2008. p.220-221.
14.    Sarkar SD. The Pathophysiologic Basis of Nuclear medicine. 2nd edition. Ed : Elgazzam AH. Springer, Kuwait. 2006. p. 209-214.
15.    Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia – Sobotta. Jilid 1. Edisi 12. EGC. 2000. hal.158.
16.    Gorges R, Bockisch A. Thyroglobulin as Spesific Tumor Marker in Differentiated Thyroid Cancer. In: Biersack HJ, Grunwald F. Ed. Thyroid Cancer. 2th edition. Springer. NewYork. 2005.  p.221-227.
17.    Fitria L. Berbagai Kelenjar Endokrin. 2005
18.    Rousset BA, Dunn JT, Thyroid Hormone Synthesis. and Secretion. April 13 2004
19.    Goodman HM. Basic Medical Endocrinology. 3rd edition.. Elsevier Science. USA. 2003. p. 77-109
20.    Bowen R. Synthesis and Secretion of Thyroid Hormones. March 15 1999.
21.    Bhagavan NV. Medical Biochemistry. 4th edition. Harcourt/Academy Press. Florida. 2002. p.770-779.
22.    Mallery C. How Thing get in/out of cell. Department of Biology - University of Miami. March 4 2010.
23.  Schneider JJ, Hood DA. Effect of Thyroid Hormone on mtHsp70 Expression, Mitochondrial Import and Processing in Cardiac Muscle. Journal of Endocrinology. Departments of Kinesiology and Health Science and Biology. York University. Toronto. Ontario. Canada. 2000
24.  Ornellas DS, et al. Thyroid Hormone Modulates CIC-2 Chloride Channel Gene Expressions in Rat Renal Proximal Tubules. Department of Physiology of the Johns Hopkins University School of Medicine. Baltimore, Maryland. USA. Journal of Endocrinology. 2003